Rabu, 29 Februari 2012

Advokat Sebagai Pemberi Bantuan Hukum

A.    PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah Negara hukum, yang berarti Negara memberikan jaminan dan perlindungan hukum bagi warga Negara melalui lembaga peradilan yang tidak memihak serta penjaminan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, setiap warga Negara mempunyai kedudukan dan derajat yang sama didepan hukum, mempunyai hak yang sama dalam memperoleh keadilan, perlakuan, dan perlindungan hukum serta mempunyai hak dalam menuntut keadilan dan kebenaran tanpa adanya diskriminatif. Namun hal tersebut masih jauh dari kenyataan. Masih banyak kita jumpai warga masyarakat yang tidak mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum, meskipun pemerintah sendiri sudah mengupayakan adanya penegakan hukum, namun upaya tersebut hingga kini masih belum terlaksana dengan baik.
Dalam rangka mewujudkan prinsip – prinsip Negara hukum dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, maka profesi penasehat hukum (advokat) sangat dibutuhkan keberadaannya disamping unsur penegak hukum yang lain, seperti hakim, jaksa, polisi.
Penasehat hukum juga terdapat pada agama Islam yang mengajarkan umatnya untuk saling tolong – menolong dalam hal kebaikan, dan juga mengajarkan umatnya untuk memberikan bantuan bagi yang membutuhkan, sebagaimana firman Allah, QS. Al-Maidah: 2.
Artinya: “tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.
Dalam memohon bantuan kepada ahli hukum, biasanya pihak yang membutuhkan memberikan kuasa pada pengacara atau advokat. Pengacara atau advokat inilah yang akan membimbing serta menolong pihak yang berperkara dalam melaksanakan seluruh peraturan yang berlaku terhadap orang yang menghadapi perkara di pengadilan.
Advokat sebagai pemberi bantuan hukum atau jasa hukum kepada klien yang menghadapi masalah hukum, keberadaannya sangat dibutuhkan. Apalagi dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat serta kompleksnya masalah hukum.

B.     PEMBAHASAN
Advokat adalah yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di luar pengadilan.[1]
Berdasarkan sejarah Advokat termasuk salah satu profesi tertua. Dalam perjalanannya, profesi itu bahkan dinamai sebagai officum nobile (jabatan yang mulia), karena aspek kepercayaan dari pemberi kuasa (klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak – haknya di forum yang telah ditentukan.
Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan di Indonesia, pertama -  tama ditemukan dalam ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili. Advokat merupakan dari kata Advocaat (Belanda) yaitu seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar meester in de rechten (Mr).
Advokat merupakan bagian integral (sub sistem) dalam sistem peradilan yang terintegrasi (Integrated Justice System). Sebagai salah satu pilar (sub sistem), maka kehadirannya sangat penting dalam rangka mewujudkan peradilan yang jujur, adil, bersih, menjamin kepastian hukum, kepastian keadilan dan jaminan HAM untuk menciptakan independensi kekuasaan kehakiman. Keberadaan Advokat secara perseorangan maupun secara organisatoris, harus mampu menjadi faktor pendorong (impetus majority) dalam perwujudan sistem peradilan yang terintregasi. Oleh karena itu, kedudukan Advokat seharusnya sejajar dengan kedudukan Hakim, Jaksa, Polisi dan Lembaga Pemasyarakatan dengan segala hak dan kewajibannya dalam mengawal perwujudan independensi kekuasaan kehakiman.[2]
Di lain pendapat ada yang salah dalam menafsir istilah tersebut. Dikatakan bahwa Penasihat Hukum dan Bantuan Hukum berfungsi sebagai penolong bagi tersangka atau terdakwa yang membutuhkan bantuannya agar dapat bebas dari sangkaan atau dakwaan yang dituduhkannya. Padahal yang sesungguhnya bahwa pembela atau penasihat hukum ini berfungsi untuk membantu hakim dalam usahanya dalam menyelesaikan suatu perkara pidana untuk menemukan kebenaran material, walau bertolak dari sudut pandangan subyektif, yaitu berpihak kepada kepentingan tersangka atau terdakwa.[3]
Advokat yang merupakan salah satu dari catur wangsa belum cukup untuk mengatakan secara yuridis bahwa advokat adalah Penegak Hukum sekalipun unsur – unsur lain dari catur wangsa itu secara hukum telah dinyatakan dalam undang – undang sebagai penegak hukum.
Dalam pasal 37 Undang – Undang 1970: 14 diatur bahwa Advokat membantu melancarkan penyelesaian perkara. Sementara itu, dalam pasal 1 butir 13 KUHP ditentukan bahwa Advokat adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang – undang untuk memberi bantuan hukum. Kemudian dalam bab VII yang mengatur tentang bantuan hukum tidak ada uraian yang khusus mengenai tugas dan wewenang advokat itu kecuali kata – kata untuk membela.[4]
Selain ketentuan di atas, sejauh ini belum ada lagi undang – undang yang mengatur tentang status dan peranan advokat sebagai penegak hukum. Dalam Undang – undang 1985: 14 dan Undang – undang 1986: 2 ada mengatur yang berhubungan dengan Advokat, tetapi hanya berkaitan dengan pengawasan (penindakan). Namun demikian pengawasan yang akan dilakukan berdasarkan peraturan Jabatannya itu menurut undang – undang sampai sekarang Undang – undang Jabatan yang dimaksud belum pernah ada. Demikian pula ketentuan dalam Undang – undang 1970: 14 pasal 38 yang menyatakan bahwa tentang hukum (Advokat) itu akan diatur lebih lanjut dengan undang – undang, sampai sekarang undang – undang itu juga belum ada.
Profesi advokat termasuk profesi mulia, karena ia dapat menjadi mediator bagi para pihak yang bersengketa tentang suatu perkara baik yang berkaitan dengan perkara pidana, perdata (termasuk perdata khusus yang berkaitan dengan perkara dalam agama Islam), maupun dalam tata usaha Negara. Advokat juga dapat menjadi fasilitator dalam mencari kebenaran dan menegakkan keadilan untuk membela hak asasi manusia dan memberikan pembelaan hukum yang bersifat bebas dan mandiri.[5]
Pada prinsipnya kebijakan Mahkamah Agung dan lembaga peradilan terhadap advokat bisa dikategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) Kebijakan mengenai sertifikasi advokat; (2) Kebijakan mengenai pengawasan advokat; dan (3) Kebijakan mengenai pelaksanaan tugas advokat dalam proses peradilan.[6]

Advokat mempunyai hak dan kewajiban, yaitu:[7]
Hak Penasihat Hukum:
a. Hak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan.
b.   Hak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.
c.       Hak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya.
d.  Hak menerima tembusan surat pelimpahan perkara ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan.

Kewajiban Penasihat hukum:
a.   Kewajiban untuk tidak menyalahgunaan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka sebagaimana maksud Pasal 70 ayat (1) KUHAP.
b.      Kewajiban untuk membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, hukum, dan keadilan (vide Pasal 37 Undang – undang Nomor 14 Tahun 1970).

Tugas Pengacara (Advokat)
Advokat memiliki lebih banyak apa yang dinamakan dengan etik normative dari hukumnya dalam Kode Etik Advokat. Dari enam hal (yang dalam Kode Etik Kedokteran disebut sebagai kewajiban dengan ayat - ayatnya):
1.      Kepribadian Advokat (pasal 1 dengan 7 ayat),
2.      Hubungan dengan klien (pasal 2 dengan 13 ayat),
3.      Hubungan dengan teman sejawat (pasal 3 dengan 8 ayat),
4.      Cara bertindak dalam menangani perkara (pasal 4 dengan 11 ayat),
5.      Ketentuan – ketentuan lain (pasal 5 dengan 9 ayat), dan
6.      Pelaksanaan Kode Etik Advokat (pasal 6 dengan 3 ayat).[8]
Dalam pasal 1 mengenai kepribadian Advokat dinyatakan bahwa di samping Advokat Indonesia harus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam melakukan tugasnya menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta sumpah jabatannya, dan Advokat harus bersedia agar memberi bantuan dan nasihat hukum tanpa mengadakan diskriminasi berdasarkan agama, suku, keturunan dan lain – lain. Seorang Advokat bekerja dengan bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun, dan wajib memperjuangkan hak – hak asasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia.
Hal demikian dapat dikatakan mengenai pasal 2 misalnya, dimana advokat tidak dibenarkan menjamin terhadap kliennya bahwa perkaranya akan dimenangkan dalam judul dengan kliennya, sedangkan pasal 3 mengenai hubungan dengan teman sejawat yang antara lain memuat ketentuan bahwa antara Advokat harus ada hubungan sejawat, saling menghargai dan mempercayai.
Dalam judul dan pasal mengenai cara bertindak dalam menangani perkara, di mana dikatakan bahwa Advokat tidak dibenarkan menghubungi saksi – saksi pihak lawan untuk mendengar mereka dalam perkara bersangkutan.
Mengenai ketentuan lain, antara lain menghendaki bahwa advokat harus menunggu permintaan dari klien dan tidak boleh menawarkan jasanya baik langsung maupun tidak langsung (misalnya melalui perantara), sedangkan dalam ayat lainnya misalnya advokat tidak dibenarkan untuk melalui media massa mencari publisitas dirinya atau menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan – tindakannya sebagai advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya (kecuali apabila keterangan yang ia berikan bertujuan untuk menegakkan prinsip – prinsip Hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap advokat).
Dan yang terakhir mengenai pelaksanaan kode etik advokat (pasal 6) dikatakan bahwa pengawasan atas pelaksanaan kode etik oleh advokat dilakukan oleh Dewan Kehormatan, dengan acara dan sanksi yang ditentukan sendiri.
Kesemuanya menunjukkan bahwa Kode Etik Advokat tersebut umumnya mengandung etik normatif. Dan juga terdapat hubungan dengan soal hukum, yaitu:
a.         Rahasia profesi yang dalam Kode Etik Advokat tersebut dinyatakan bahwa Advokat harus selalu memegang rahasia jabatan yang dipercayakan oleh klien kepadanya.
b.        Tidak diperkenankan Advokat membuka rahasia yang dipercayakan kepadanya dan Etiklah yang memberikan posisi kepada diri Advokat sebagai pejabat yang wajib menyimpan rahasia.
c.         Tidak dibenarkan pula oleh Etik Advokat membuka rahasia yang dipercayakan kepadanya.
Di luar Kode Etik Advokat, terdapat ketentuan – ketentuan mengenai bantuan hukum oleh para Advokat, yang terutama dikembalikan kepada Undang – undang Pokoknya, khususnya Undang – undang tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970 (pasal – pasal 35, 36, 37, 38), kemudian dalam Undang – undang Mahkamah Agung No. 14 tahun 1985, yang mengatur tentang pengawasan terhadap para Advokat dan Notaris. Undang – undang tentang Peradilan Umum No. 2 tahun 1986 mengenai pengawasan demikian yang dilakukan oleh pengadilan (pasal 54 Undang – undang No. 12 tahun 1986).[9]
Advokat (penasihat hukum) dapat berhubungan dengan tersangka dengan pengawasan penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan. (Pasal 71 ayat 1 (2) KUHAP) demikian juga dalam hal surat menyurat antara tersangka dan penasihat hukum, dapat dilakukan (pasal 73 KUHAP) batasan – batasan dicantumkan oleh pasal 70 KUHAP yang antara lain agar hal – hal / kebebasan tersebut, tidak disalahgunakan. Sepanjang penasihat hukum bertujuan mencari objektivitas maka hal tersebut bukan penyalahgunaan.[10]
Dalam usaha mewujudkan prinsip – prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi pengacara (advokat) merupakan hal yang penting. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak – hak fundamental mereka di depan hukum.
Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat 1 dan 2 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat serta Kode Etik, menyebutkan bahwa pengacara (advokat) adalah orang yang diberi kuasa untuk memberi bantuan di bidang hukum baik perdata atau pidana kepada yang memerlukannya, baik berupa nasehat (konsultasi) maupun bantuan hukum aktif, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan jalan mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum kliennya.
Adapun tugas dari pengacara secara khusus adalah membuat dan mengajukan gugatan, jawaban, tangkisan, sangkalan, memberi pembuktian, membuat pembelaan, mendesak segera disidangkan atau diputuskannya perkaranya dan sebagainya.
Di samping itu pengacara bertugas membantu hakim dalam mencari kebenaran dan tidak boleh memutarbalikkan peristiwa demi kepentingan kliennya agar kliennya menang dan bebas.
Syarat – syarat formil yang harus dipenuhi untuk bertindak sebagai pengacara ditentukan berdasarkan pasal 123 ayat 1 HIR, Peraturan Menkeh No. 1 tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965. Keputusan Menkeh No. JP.14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 dan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat serta Kode Etik.[11]
 Dalam sistem peradilan Indonesia, Advokat (istilah undang – undang adalah  Penasihat hukum, misalnya Undang – undang 1970: 14, dan Undang – undang 1981: 8) tugas dan wewenangnya perlu penegasan dalam satu undang – undang tersendiri. Dituangkan harus dalam bentuk undang – undang Karena:
a.    Unsur – unsur penegak hukum yang lain seperti Polisi, Jaksa dan Hakim tugas dan wewenangnya telah dituangkan dalam undang – undang. Jika mereka adalah penegak hukum maka agar mekanismenya berjalan dengan baik maka keseimbangan status dan peranan masing – masing merupakan syarat mutlak.
b.    Secara historis jabatan Advokat diatur dengan setingkat undang – undang dan secara implisit dalam pasal 54 ayat 2 Undang – undang 1986: 2 yang menentukan bahwa dalam hal penindakan dapat dilakukan terhadap Penasihat Hukum bila melanggar peraturan perundang – undangan yang mengatur jabatan Advokat (Undang – undang 1970: 14 dan Undang – undang 1986: 2).
c.    Sebenarnya RUU Profesi Advokat telah pernah dibuat, tapi hanya belum pernah saja menjadi RUU resmi di DPR. Hal ini terjadi, mungkin karena tidak ada perhatian pada masalah ini.[12]

Dasar Hukum Advokat
Mengenai pemberian bantuan hukum ini diatur dalam Undang – undang 1945 Pasal 27 ayat (1), menegaskan bahwa:[13]
“setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Selain dasar hukum diatas, ada beberapa peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan advokat, yaitu:
1.      Undang - Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Bab. VII BANTUAN HUKUM.
2.      Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Bab I dan Bab. VII Bantuan Hukum.
3.      Undang-Undang No 5 tahun 2004 perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Bab III Kekuasaan Mahkamah Agung Pasal 36.
4.      Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Bab. III, Kekuasaan Pengadilan Pasal 54.
5.      Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 57 ayat (1).
6.      Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 73 ayat (1).
7.      Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Pasal 1 ayat (13).
8.      Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang - Undang Pasal 5.
9.      Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 1 ayat (30)
10.  Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat


[1] Yudha Pandu,  Klien Dan Penasehat Hukum Dalam Perspektif Masa Kini, (Jakarta: PT. Abadi
Jaya, 2001), 11.
[2] Sidik Sunaryo, Sistem Peradilan Pidana, (Malang: UMM Press, 2004), 241.
[3] Hendrastanto Yudowidagdo, dkk, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), 66.
[4] Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court, (Jakarta: Djambatan, 1996), 6.
[5] Rahmat Rosyadi dan Sri, Advokat dalam perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003), 18.
[6]Binziad kadafi, dkk, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, (Jakarta: Pusat Studi hukum & Kebijakan Indonesia, 2001), 142.
[7] Waluyo Bamabang, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 100.
[8] Oemar Seno Adji, Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 1991), 25.
[9] Oemar Seno Adji, Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 1991), 5.
[10] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), 53.
[11] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: 2006), 252.
[12] Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court, (Jakarta:1996), 25.
[13]Rahmat Rosyadi dan Sri, Advokat dalam perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003), 87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar