Minggu, 13 November 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU – ILMU AL-QUR’AN

mushaf usman

  Perkembangan Ilmu Al – Qur’an pada Masa Rasulullah SAW
Rasulullah SAW menyampaikan Al – Qur’an kepada para sahabatnya (orang – orang Arab asli) sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW menafsirkan kepada mereka beberapa ayat. Para sahabat sangat antusias untuk menerima Al – Qur’an dari Rasulullah SAW, menghafalnya dan memahaminya. Hal itu merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Begitu pula mereka selalu berusaha mengamalkan Al – Qur’an dan memahami hukum – hukumnya.
Rasulullah SAW dan para sahabatnya sangat mengetahui makna – makna Al – Qur’an dan ilmu – ilmunya, sebagaimana pengetahuan para ulama sesudahnya. Bahkan, makna dan ilmu – ilmu Al – Qur’an tersebut pada masa Rasulullah dan para sahabatnya itu belum dibukukan dan belum disusun dalam satu kitab. Sebab, mereka tidak merasa perlu untuk menulis dan membukukan makna dan ilmu – ilmu Al – Qur’an tersebut dalam suatu kitab.
Hal itu disebabkan karena Rasulullah yang menerima wahyu dari sisi Allah SWT, juga mendapatkan rahmat – Nya yang berupa jaminan dari Allah bahwa kalian pasti bisa mengumpulkan wahyu itu ke dalam dada beliau, dan Allah melancarkan lisan beliau ketika membacanya, serta pandai untuk menjelaskan/menafsirkan isi maksudnya. Allah memberikan jaminan kepada beliau tentang makna – makna dan rahasia – rahasia wahyu (Al – Qur’an).
Setiap Rasulullah selesai menerima wahyu ayat Al – Qur’an, beliau menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya. Beliau membacakannya kepada orang banyak dengan tekun dan tenang, sehingga mereka dapat membacanya dengan baik, menghafal lafal – lafalnya dan mampu memahami arti dan makna serta rahasia – rahasianya. Rasulullah SAW menjelaskan tafsiran – tafsiran ayat Al – Qur’an kepada mereka dengan sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau serta dengan akhlak – akhlak dan sifat beliau. Hal itu karena memang beliau diperintahkan Allah SWT menjelaskan ayat – ayat Al – Qur’an sesuai dengan firmannya:
Rasulullah SAW tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dia selain Al – Qur’an, karena ia khawatir Al – Qur’an akan tercampur dengan yang lain. Sekalipun sesudah itu Rasulullah SAW mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadits, tetapi hal yang berhubungan dengan Al – Qur’an tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah SAW, di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra.
Pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara, yaitu:
a.       Al Jam’u fis Sudur yaitu Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu.
b.       Al Jam’ufis Suthur yaitu menyuruh para sahabat untuk menuliskannya kembali setelah dibacakan oleh Rasulullah. Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang.

 Perkembangan Ilmu Al – Qur’an pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa khalifah Abu Bakar ra. Al – Qur’an pertama kali dikumpulkan setelah terjadinya perang Yamamah. Meski periode pertama berlalu, para sahabat masih tetap menyampaikan Islam dan ajaran – ajaranya, menyebarkan Al – Qur’an dan ilmu – ilmunya, serta mengembangkan hadis. Semua itu dilakukan dengan cara pengajaran lisan, bukan dengan tulisan/pembukuan.
Pada masa pemerintahannya Abu Bakar banyak menghadapi malapetaka, berbagai kesulitan dan problem yang rumit, diantaranya memerangi orang-orang yang murtad yang ada di kalangan orang Islam.
Peperangan Yamamah adalah suatu peperangan yang amat dahsyat. Banyak kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an dan ahli bacanya mati syahid yang jumlahnya lebih dari 70 orang huffazh ternama. Oleh karenanya kaum muslimin menjadi bingung dan khawatir. Umar sendiri merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar yang sedang dalam keadaan sedih dan sakit. Umar mengajukan usul supaya mengumpulkan Al-Qur’an karena khawatir lenyap dengan banyaknya khufazh yang gugur. Kemudian ia mengutus Zaid bin Tsabit dan mengajukan persoalannya, serta menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf. Lembaran-lembaran tersebut disimpan pada Abu Bakar sampai ia wafat Kemudian (diserahkan) kepada Umar sampai wafat dan kemudian disimpan di rumah Hafsah binti Umar.
mushaf pada masa Abu Bakar memiliki beberapa keistimewaan yang terpenting:
(1)
Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
(2)
Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaannya.
(3)
Ijma’ ummat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
(4)
Mushaf mencakup qira’at sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.
Ali secara pribadi memiliki mushaf khusus yang ditulisnya pada masa permulaan pengangkatan khalifah Abu Bakar dimana ia telah bertekad menulisnya dengan tidak akan keluar – keluar rumah kecuali untuk melakukan shalat sampai ia selesai menulisnya.
 Masa kekhalifahan Usman ra. menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut Mushaf Imam. Salinan mushaf – mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar – rasmul ’Usmani. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu rasmil Qur’an.
Semakin meluasnya daerah kekuasaan islam pada masa Utsman membuat perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar. Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an di masa Utsman r.a. adalah karena beberapa faktor lain yang berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, orang – orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka.
Karena latar belakang dari kejadian tersebut Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan kebenaran pandangannya ia berpendapat untuk mengumpulkan sahabat – sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan.
Mereka semua sependapat agar Amirul Mu’minin menyalin dan memperbanyak mushaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushhaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur’an.
Sahabat Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana, ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat diandalkan. Mereka tersebut adalab Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-’Asb dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin kecuali Zaid Ibnu Tsabit, dimana ia adalah dari kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini adalah pada tahun kedua puluh empat hijrah.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali ra. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad – du’ali meletakkan kaidah – kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku memberikan ketentuan harakat pada Al – Qur’an. Ini juga dianggap sebagai permulaan ’ilmu I’rabil Qur’an.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna – makna Qur’an dan penafsiran ayat – ayatnya yang berbeda – beda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan mereka yang berbeda – beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW. Hal yang demikian diteruskan oleh murid – murid mereka, yaitu para tabi’in.

Perkembangan Ilmu Al – Qur’an pada Abad kedua sampai keenam Hijriyah
Kedua - fase perkembangan dari lisan ke tulisan
Pada abad ke-2 H ulum al-Qur’an mengalami perkembangan dari bentuk lisan ke tulisan. Pada fase tersebut umat islam mengalami kemajuan pesat di bidang keilmuan, yakni pengumpulan dan pembukuan hadis. Dalam hal ini, para ulama mengumpulkan hadis dari berbagai tema termasuk hadis atau riwayat yang berkenaan dengan tafsir al-Qur’an. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa pada abad ke-2 H ulum al-Qur’an sudah berkembang menjadi tertulis meski masih bercampur dengan bidang keilmuan yang lain, belum sampai pada bentuk disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Ketiga - fase pemisahan ulum al-Qur’an dari ilmu-ilmu yang lain.
Pada fase ini ulum al-Qur’an nampak sudah mengarah pada disiplin tersendiri, maksudnya terpisah dengan dengan ilmu-ilmu keagamaan yang lain. Hal ini ditandai dengan lahirnya karya besar Ibnu Jarir al-Thabary (w. 310. H) yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Tafsir ayi al-Qur’an yang lebih popular dengan tafsir al-Thabariy. Selain itu, pada fase yang sama juga berkembang kecenderungan baru di kalangan ulama yakni melakukan kajian atas aspek-aspek tertentu yang terkait dengan al-Qur’an seperti asbab al-nuzul ,  al-Nasikh dan Mansukh, Musykil al-Qur’an dan lain-lain. Kajian-kajian khusus seperti ini kemudian yang menjadi materi pokok di dalam himpunan ilmu-ilmu al-Qur’an.

Keempat - fase unifikasi ulum al-Qur’an
Kecenderungan ulama melakukan kajian atas aspek-aspek tertentu yang terkait dengan al-Qur’an tetap berkembang pada abad keempat bahkan sampai abad-abad sesudahnya. Akan tetapi perkembangan yang nampak pada fase ini adalah upaya unifikasi ulum al-Qur’an. Indikatornya antara lain penggunaan term ulum al-Qur’an dalam rangkaian judul beberapa karya tulis yang lahir seperti al-Hawi fi Ulum al-Qur’an karya Muhammad ibn Khallaf al-Marzuban.

Kelima - fase kelayakan sebagai satu disiplin ilmu
Pada abad kelima, ulum al-Qur’an sudah menemukan bentuknya sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sistematis komprehensif dengan obyek kajian yang jelas. Karya yang menandai perkembangan ini adalah kitab al-Burhan fi ulum al-Qur’an karya Ali bin Ibrahim ibn Said al-Hufi.

Keenam - menuju fase kematangan dan kesempurnaan        
Pada abad-abad selanjutnya ulum al-Qur’an terus berkembang yang ditandai dengan lahirnya berbagai kara tulis seperti Funun alAfnan fi Ajaib Ulum al-Qur’an karya Ibn al-Jauziy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an karya Badaruddin al-Zarkasyi, al-Tahbir fi Ulum al-Qur’an dan al-Itqan fi Ulum al-Qur’an karya Jalaluddin al-Suyuthi, dan lain-lain.  Dalam pandangan sebagian pakar ulum al-Qur’an, kelahiran karya al-Suyuthi ini menandai puncak perkembangan ulum al-Qur’an dengan kematangan sistematikan dan content (isi) yakni pada abad ke 9 dan ke 10 H. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar